Sabtu, 07 Mei 2011

Karya Tulis Ilmiah Keperawatan Jiwa : Perilaku Kekerasan

A.    Konsep perilaku kekerasan
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2001). Gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori utama yaitu gejala positif atau gejala nyata, yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara, dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyrakat atau rasa tidak nyaman (Videbeck, 2001).
Salah satu tipe dari skozofrenia adalah skizofrenia paranoid, dimana ditandai dengan adanya waham kejar (rasa menjadi korban atau dimata-matai) atau waham kebesaran, halusinasi dan kadang-kadang keagamaan yang berlebihan, atau perilaku agresif dan bermusuhan (Videbeck, 2001). Dari gejala yang timbul tersebut, skizofrenia paranoid cenderung berpontensi untuk melakukan perilaku kekerasan.
1.      Pengertian perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2009)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secara fisik, emosional, dan atau sexualitas (NANDA, 2006).
Perilaku kekerasan adalah hasil kemarahan yang ekstrim (amarah) atau ketakutan (Stuart & Laraia, 2005).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2.      Proses terjadinya masalah perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang (Keliat, 2009). Stressor tersebut dapat muncul dari berbagai macam faktor.
a.      Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2009), terdapat beberapa faktor penyebab perilaku kekerasan meliputi faktor biologis, psikologis, sosialkultural dan spiritual.
1)     Faktor Biologis
a)      Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b)      Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilau agresif.
c)      Cycardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
d)     Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di otak (epineprin, norepineprin, dopamin, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal verterbra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e)      Brain area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2)     Faktor Psikologis
a)      Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
b)      Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif pula (makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.

c)      Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.
3)     Faktor Sosial budaya
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan dalam tayangan telivisi. Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian klien menyalurkan kemarahan dengan nilai dan mengkritik tingkah laku orang lain, sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri menjauhkan diri dari orang lain.
4)     Faktor spiritual
Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi ungkapan marah individu dengan lingkungan. Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepada-Nya.
b.      Faktor presipitasi
Seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injuri secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita (Yosep, 2009).
Bila dilihat dari sudut perawat dan klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni (Yosep, 2009):
1)        Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
2)        Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.
c.       Penilaian terhadap stressor
Penilaian stessor melibatkan makna dan pemahaman dampak dari situasi stres bagi individu. itu mencakup kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan respon sosial. Penilaian adalah evaluasi tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna, intensitas, dan pentingnya sebagai konsekuensi dari interpretasi yang unik dan makna yang diberikan kepada orang yang berisiko (Stuart & Laraia, 2005).
Respon perilaku adalah hasil dari respons emosional dan fisiologis, serta analisis kognitif seseorang tentang situasi stres.  Caplan (1981, dalam Stuart & Laraia, 2005) menggambarkan empat fase dari respon perilaku individu untuk menghadapi stress, yaitu:
1)      Perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan individu untuk melarikan diri dari itu
2)      Perilaku yang memungkinkan individu untuk mengubah keadaan eksternal dan setelah mereka
3)      Perilaku intrapsikis yang berfungsi untuk mempertahankan rangsangan emosional yang tidak menyenangkan
4)      Perilaku intrapsikis yang membantu  untuk berdamai dengan masalah dan gejala sisa dengan penyesuaian internal.
d.      Sumber koping
Menurut Stuart & Laraia (2005), sumber koping dapat berupa aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik defensif, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sangat berperan penting pada saat ini. Sumber koping lainnya termasuk kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial, sumber daya sosial dan material, dan kesejahteraan fisik.
Keyakinan spiritual dan melihat diri positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan dan dapat mempertahankan usaha seseorang mengatasi hal yang paling buruk. Keterampilan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang alternatif, dan melaksanakan rencana tindakan. keterampilan sosial memfasilitasi penyelesaian masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan kerjasama dan dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial individu yang lebih besar. akhirnya, aset materi berupa barang dan jasa yang bisa dibeli dengan uang. Sumber koping  sangat meningkatkan pilihan seseorang mengatasi di hampir semua situasi stres. Pengetahuan dan kecerdasan yang lain dalam menghadapi sumber daya yang memungkinkan orang untuk melihat cara yang berbeda dalam menghadapi stres. Akhirnya, sumber koping juga termasuk kekuatan ego untuk mengidentifikasi jaringan sosial, stabilitas budaya, orientasi pencegahan kesehatan  dan konstitusional.
e.       Mekanisme koping
Menurut Stuart & Laraia (2005), mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
1)     Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2)     Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3)     Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4)     Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5)     Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya anak berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
f.       Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dari ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu (Yosep, 2009).
B.     Penatalaksanaan perilaku kekerasan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.
1.      Penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan dan terapi modalitas.
a.        Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.
1)      Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama proses keperawatan dan meliputi pengumpulan organisasi, dan analisis informasi (American Nurses Association, 1994 dalam Videbeck, 2001).
Menurut Yosep (2009), pada dasarnya pengkajian pada klien marah ditujukan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spiritual.
a)      Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urin meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b)      Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c)      Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d)     Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e)      Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
2)      Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai lisensi dan kompeten untuk mengatasinya (Potter & Perry, 2005).
Menurut Yosep (2009), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan kecenderungan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a)      Perilaku kekerasan
b)      Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
c)      Perubahan sensori persepsi: halusinasi
d)     Harga diri rendah kronis
e)      Isolasi sosial
f)       Berduka disfungsional
g)      Inefektif proses terapi
                       h)      Koping inefektif
 
 Selengkapnya Download Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar