Minggu, 05 Juni 2011

Metabolisme Otot Jantung

A.      Metabolisme Otot Jantung
Pengaturan sirkulasi secara humoral berarti pengaturan oleh zat-zat yang disekresi atau yang diabsorbsi ke dalam cairan tubuh ; seperti hormon dan ion. Beberapa zat ini dibentuk oleh kelenjar khusus dan dibawa di dalam darah ke seluruh tubuh. Zat lainnya dibentuk di daerah jaringan setempat dan hanya menimbulkan pengaruh sirkulasi setempat. Faktor-faktor humoral terpenting yang mempengaruhi fungsi sirkulasi diantaranyaa adalah sebagai berikut.
1.    Zat Vasokonstriktor
Norepinefrin terutama adalah hormon vasokonstriktor yang amat kuat; epinefrin tidak begitu kuat dan dibeberapa jaringan, bahkan menyebabkan vasodilatasi ringan. (Contoh khusus vasodilatasi akibat epinefrin dijumpai pada jantung untuk mendilatasikan arteri kororner selama peningkatan aktivitas jantung).
Ketika sistem saraf simpatis dirangsang di sebagian besar atau diseluruh bagian tubuh selama terjadi stress atau olahraga, ujung saraf simpatis pada masing-masing jaringan akan melepaskan norepinefrin yang merangsang jantung dan mengkonstriksi vena serta arteriol. Selain itu, saraf simpatis untuk medula adrenal juga menyebabkan kelenjar ini menyekresi norepinefrin dan epinefrin kedalam darah. Hormon-hormon ini kemudian bersirkulasi ke seluruh area tubuh dan menyebabkan efek perangsangan yang hampir sama dengan perangsangan simpatis langsung terhadap sirkulasi, sehingga tersedia dua sistem pengaturan, yaitu perangsangan saraf secara langsung dan efek tidak langsung dari norepinefrin dan/ atau epinefrin di dalam darah yang bersirkulasi.
2.    Pengaturan Aliran Darah Koroner
a)    Metabolisme Otot Lokal Sebagai Pengatur Utama Aliran Koroner
Aliran darah yang melalui sistem koroner diatur hampir seluruhnya oleh vasodilasiarteriol setempat sebagai respons terhadap kebutuhan nutrisi otot jantung. Dengan demikian, bilamana kekuatan kontraksi jantung meningkat, apapun penyebabnya, kecepatan aliran darah koroner juga akan meningkat. Sebaliknya, penurunan aktivitas jantung disertai dengan penurunan aliran koroner. Pengaturan lokal aliran darah koroner ini hampir identik dengan yang terjadi yang terjadi di banyak jaringan tubuh lainnya, terutama otot rangka diseluruh tubuh.
b)   Kebutuhan Oksigeni Sebagai Faktor Utama dalam Pengaturan Lokal Aliran Darah Koroner
Aliran darah di sistem koroner biasanya diatur hampir sebanding dengan kebutuhan oksigen otot jantung. Biasanya sekitar 70 % oksigen di dalam darah arteri koroner dipindahkan selagi darah mengalir melalui otot jantung. Karena tidak banyak oksigen yang tersisa, maka tidak banyak lagi oksigen yang dapat ditambahkan ke otot jantung kecuali bila aliran darah koroner meningkat. Untungnya, aliran darah koroner meningkat hampir berbanding lurus dengan setiap konsumsi oksigen tambahan bagi proses metabolik di jantung.
Namun cara yang pasti bagaimana peningkatan konsumsi oksigen dapat menyebabkan dilatasi koroner masih belum dapat ditentukan. Penurunan konsentrasi oksigen di jantung menyebabkan dilepaskannya zat-zat vasodilator dari sel-sel otot, dan hal ini akan menimbulkan dilatasi arteriol. Zat dengan potensi vasodilator yang besar adalah adenosin. Dengan adanya konsentrasi oksigen yang sangat  rendah di dalam sel-sel otot, maka sebagian besar ATP sel dipecah menjadi adenosin monofosfat; kemudian sebagian kecil mengalami penguraian lebih lanjut guna membebaskan adenosin ke dalam cairan jaringan otot jantung. Sesudah adenosin menimbulkan vasodilatasi, sebagian besar diabsorbsi ke dalam sel-sel jantung untuk digunakan kembali.
Adenosin bukanlah satu-satunya produk vasodilator yang telah dikenali. Produk vasodilator lainnya adalah senyawa adenosin fosfat, ion kalium, ion hidrogen, karbondioksida, bradikinin, dan, kemungkinan prostaglandin dan nitrit oksida.
Namun tetap dijumpai beberapa kesulitan pada hipotesis vasodilator. Pertama, zat-zat yang mengahambat atau mengambat sebagian efek vasodilator adenosin tidak mencegah vasodilator koroner yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas otot jantung. Kedua, penelitian pada otot rangka telah menunjukkan bahwa infus adenosin yang terus menerus akan mempertahankan dilatasi vaskular hanya untuk 1 sampai 3 jam, dan ternyata aktivitas otot akan tetap mendilatasi pembuluh darah lokal bahkan bila adenosin tidak dapat lagi mendilatasi pembuluh darah tersebut.
c)    Pengaturan Aliran Darah Koroner oleh Saraf
Perangsangan saraf otonom ke jantung dapat mempengaruhi aliran darah koroner baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung merupakan hasil dari kerja langsung zat-zat transmiter saraf, asetilkolin dari nervus vagus serta norepinefrin dan epinefrin dari saraf simpatis pada pembuluh darah koroner itu sendiri. Pengaruh tidak langsung akibat dari perubahan sekunder pada aliran darah koroner yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan aktivitas jantung.
Pengaruh tidak langsung, yang sangat berlawanan dengan pengaruh langsung, berperan  jauh lebih penting dalam pengaturan aliran darah koroner yang normal. Jadi, rangsangan simpatis, yang melepaskan norepinefrin dan epinefrin, meningkatkan frekuensi dan kontraktilitas jantung serta meningkatkan kecepatan metabolisme jantung. Selanjutnya, peningkatan metabolisme jantung akan mengaktifkan mekanisme pengaturan aliran darah lokal guna mendilatasi pembuluh darah koroner, dan aliran darah meningkat hampir sebanding dengan kebutuhan metabolik otot jantung. Sebaliknya, perangsangan vagus, yang melepaskan asetilkolin, akan memperlambat jantung dan memberi sedikit efek penekanan pada kontraktilitas jantung. Kedua efek ini akan menurunkan konsumsi oksigen jantung, dan karena itu, secara itdak lansung menyebabkan konstriksi arteri koroner.
d)   Pengaruh Langsung Perangsangan  Saraf pada Pembuluh Darah Koroner
Distribusi serabut saraf parasimpatis (vagus) di sistem koroner ventrikel tidak terlalu banyak. Namun,  asetilkolin yang dilepaskan akibat perangsangan parsimpatis memilki efek langsung untuk mendilatasi arteri koroner.
Terdapat persarafan simpatis yang jauh lebih luas di pembuluh darah koroner. Zat transmiter simpatis norepinefrin dan epinefrin dapat memberi efek dilator atau konstriktor pada pembuluh darah, bergantung pada ada atau tidaknya reseptor konstriktor atau dilator di dinding pembuluh darah. Reseptor konstriktor disebut  reseptor alfa dan reseptor dilator disebut reseptor beta. Reseptor alfa dan beta ada di pembuluh darah koroner. Pada umumnya, pembuluh darah koroner epikardial mempunyai reseptor alfa yang lebih banyak, sedangkan arteri intramuskular memiliki lebih banyak reseptor beta. Karena itu, perangsangan simpatis, setidaknya secara teoritis, dapat menyebabkan sedikit konstriksi atau dilatasi koroner yang menyeluruh, tetapi biasanya lebih banyak konstriksi. Pada beberapa orang, efek vasokonstriktor alfa tampak sangat tidak seimbang, dan orang-orang ini dapat mengalami iskemia miokardium vasospastik selama periode perangsangan simpatis yang berlebihan, sering kali menyebabkan nyeri angina.
Faktor metabolik (terutama konsumsi oksigen miokardium) merupakan pengendali utama aliran darah miokardium. Bilamana efek langsung perangsangan saraf mengubah aliran darah koroner ke arah yang salah, pengaturan metabolik terhadap aliran koroner biasanya akan menghilangkan pengaruh saraf yang bekerja langsung dalam waktu beberapa detik.

3.    Gambaran Khusus Metabolisme Otot Jantung
Dalam keadaan istirahat, otot jantung biasanya menggunakan asam lemak untuk menyuplai sebagian besar energinya dan bukan karbohidrat (sekitar 70 % energi berasal dari asam lemak). Namun, seperti juga pada jaringan lainnya, pada keadaan anaerobik atau iskemik, metabolisme jantung harus memakai mekanisme glikolisis anaerobik untuk energinya. Namun, glikolisis memakai glukosa darah dalam jumlah yang banyak sekali dan pada waktu yang bersamaan membentuk sejumlah besar asam laktat di jaringan jantung, yang mungkin merupakan salah satu penyebab nyeri jantung pada keadaan iskemik jantung.
Seperti yang terjadi pada jaringan lainnya, lebih dari 95 presen energi metabolik yang dilepaskan dari makanan dipakai untuk membentuk  ATP di dalam mitokondria. ATP ini kemudian bekerja sebagai pembawa energi untuk kontraksi otot jantung dan fungsi seluler lainnya. Pada iskemia koroner yang berat, ATP mula-mula terurai menjadi adenosin difosfat, kemudian menjadi adenosin monofosfat dan adenosin. Karena membran sel otot jantung bersifat sedikit permeabel bagi adenosin, maka banyak adenosin dapat berdifusi dari sel otot masuk ke dalam sirkulasi darah.
Adenosin yang terlepas ini dianggap sebagai salah satu zat yang menyebabkan dilatasi arteriol koroner selama hipoksia koroner. Namun, hilangnya adenosin ini juga membawa akibat yang serius pada sel. Dalam waktu paling sedikit 30 menit setelah iskemia koroner yang berat, seperti yang terjadi setelah infark miokardium, kira-kira setengah dari basa adenin dapat hilang dari sel-sel otot jantung yang terkena. Selanjutnya, kehilangan ini dapat diganti oleh sintesis adenosin baru dengan kecepatan hanya 2 persen per jam. Karena itu, bila serangan iskemia yang serius telah berlangsung selama 30 menit atau lebih, maka usaha untuk menghilangkan iskemia koroner mungkin sudah terlambat untuk menyelamatkan kelangsungan hidup sel-sel jantung. Hal ini hampir pasti menjadi salah satu penyebab utama kematian sel-sel jantung selama iskemia miokardium.

B.       Metabolisme Otot Jantung Iskemia
Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan jaringan, dan menekan fungsi miokardium.
Berkurangnya kadar oksigen mendorong miokardium untuk mengubah metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob melalui jalur glikolitik jauh lebih tidak efesien apabila dibandingkan dengan metabolisme aerob melalui fosforilasi oksidatif dan siklus kreb. Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir metabolisme anaerob (yaitu asam laktat) akan tertimbun sehingga menurunkan pH sel.
Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia, serta asidosis dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang terserang berkurang, serabut-serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.
Berubahnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung menyebabkan perubahan hemodinamika. Perubahan hemodinamika bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat Prespon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume sekuncup (jumlah darah yang keluar setiap kali jantung berdenyut). Berkurangnya pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya tekanan jantung kiri akan meningkat, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan baji dalam kapiler paru-paru akan meningkat. Tekanan semakin meningkat oleh perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu.
Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Terlihat jelas bahwa pola ini merupakan respons kompensasi simpais terhadap berkurangnya fungsi miokradium. Dengan timbulnya nyeri, sering terjadi perangsangan lebih lanjut oleh katekolamin. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas atau merupakan suatu respon vagus.


Untuk lebih lengkapnya silahkan download disini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar